JakartaInsideCom – Blok Ambalat, yang terletak di Laut Sulawesi atau Selat Makasar, telah lama menjadi titik sengketa antara Indonesia dan Malaysia. Wilayah ini diperkirakan mengandung minyak dan gas yang dapat dimanfaatkan hingga 30 tahun ke depan. Sengketa ini terjadi karena klaim tumpang tindih atas penguasaan wilayah di antara dua negara.
Dasar hukum Indonesia dalam sengketa Blok Ambalat adalah berdasarkan Perjanjian Tapal Batas Landas Kontinen Indonesia–Malaysia yang ditandatangani pada 27 Oktober 1969 dan diratifikasi oleh masing-masing negara pada tahun yang sama. Berdasarkan perjanjian ini, wilayah Blok Ambalat merupakan milik Indonesia.
Namun, pada 1979, Malaysia mengingkari perjanjian ini dengan memasukkan blok maritim Ambalat ke dalam peta wilayahnya. Hal ini menyebabkan pemerintahan Indonesia menolak peta baru Malaysia tersebut. Tak hanya Indonesia, peta tersebut juga diprotes oleh Filipina, Singapura, Thailand, Tiongkok, Vietnam, karena dianggap sebagai upaya atas perebutan wilayah negara lain.
Pada 16 Februari 2005, Malaysia memberikan konsesi minyak di kedua blok tersebut kepada perusahaan minyak milik Inggris dan Belanda, Shell. Kapal-kapal patroli Malaysia pun diketahui berulang kali melintasi batas wilayah Indonesia dengan alasan area tersebut merupakan bagian dari wilayah Malaysia.
Klaim sepihak dan beragam tindakan provokasi ini berdampak pada peningkatan eskalasi hubungan kedua negara. Akhirnya, pada tahun 2009, pemimpin kedua negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi mengambil langkah politik untuk meredakan ketegangan akibat Ambalat.
Selain itu, berdasarkan UU No. 43 Tahun 2008, Indonesia mengklaim wilayah Ambalat sebagai bagian dari kedaulatannya karena terletak di dalam ZEE dan landas kontinen Indonesia. Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS juga menjadi dasar hukum Indonesia dalam sengketa ini.
Dengan demikian, Indonesia memiliki dasar hukum yang kuat dalam klaim atas Blok Ambalat. Meski demikian, penyelesaian sengketa ini memerlukan pendekatan diplomatik dan hukum internasional yang bijaksana.