JakartaInsideCom – Arthur Rimbaud lahir pada musim gugur 1854 di Charleville, sebuah kota kecil di timur laut Prancis. Namun dunia mencatatnya bukan sebagai bocah desa biasa, melainkan sebagai penyair revolusioner yang membakar batas-batas bahasa dan menjungkirbalikkan pakem puisi klasik. Di usia yang belum genap dewasa, namanya sudah meledak di pusat-pusat intelektual Eropa.
Rimbaud—nama yang kini diucapkan dengan getar hormat dalam sejarah sastra Prancis—dianggap sebagai pelopor puisi modern. Dalam Encyclopedia Britannica, dicatat bahwa latar keluarganya yang keras menjadi fondasi awal pergolakan batin dan spiritualnya. Ayahnya, seorang perwira militer, jarang hadir. Sementara ibunya yang otoriter menciptakan suasana rumah yang dingin dan kaku.
Pelarian terbaik bagi Rimbaud adalah kata-kata. Di sanalah ia membangun dunia alternatif, menyalurkan kekacauan batin menjadi puisi yang membakar.
Dari Halusinasi ke Halaman-Halaman Abadi
Pada usia 15 tahun, Rimbaud sudah menulis puisi yang merontokkan konvensi. Seperti dicatat The Poetry Foundation, ia menghadirkan dunia lewat imaji halusinatif: kota–kota yang mendesis, langit yang berdarah, dan cinta sebagai siksaan ilahi.
Ia memperkenalkan konsep voyance—penglihatan batin—dan percaya bahwa penyair harus “mengacaukan semua indra” agar dapat menangkap realitas terdalam. Visi ini menjadikan puisi sebagai wahyu, bukan sekadar susunan kata.