JakartaInsideCom—Di tengah dinamika ekonomi global yang belum pulih sepenuhnya, wacana efisiensi anggaran negara kembali mengemuka. Bukan hanya dari kalangan birokrat, tetapi juga dari suara–suara di luar lingkar kekuasaan. Salah satunya datang dari Mardigu Wowiek Prasantyo, pengusaha sekaligus pengamat ekonomi yang dikenal dengan nama Bossman Mardigu.
Melalui kanal YouTube pribadinya, Mardigu melontarkan kritik tajam terhadap pola pengelolaan anggaran negara. Ia menilai bahwa efisiensi sejati bukan sekadar soal memotong pengeluaran, tetapi soal bagaimana setiap rupiah anggaran memberi manfaat langsung bagi perekonomian nasional, khususnya bagi sektor-sektor produktif seperti pertanian dan usaha mikro.
“Kalau anggaran perjalanan dinas, seminar, dan event sudah ditebas, lalu dialihkan ke program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), pertanyaannya, kenapa petaninya masih belum sejahtera? Kenapa pengelola dapurnya malah rugi?” ujarnya, sebagaimana dikutip dalam kanal Youtube Bossman Mardigu, Minggu (13/04/2025).
Pertanyaan itu menyimpan keresahan yang lebih dalam: apakah efisiensi yang dilakukan pemerintah benar-benar berpihak pada rakyat dan berdampak pada ekonomi riil?
Efisiensi Bukan Sekadar Pangkas Anggaran
Di balik pernyataan Mardigu, tersirat kegelisahan terhadap praktik pengelolaan anggaran yang dianggap masih jauh dari ideal. Ia menyebut adanya potensi kebocoran anggaran hingga 30 persen, yang menurutnya banyak diserap oleh kelompok-kelompok kepentingan, mulai dari organisasi massa hingga partai politik.
Bandingannya cukup gamblang. Di Amerika Serikat, kata Mardigu, inefisiensi anggaran sebelum masa pemerintahan Joe Biden berkisar di angka 15 persen. Sementara di Indonesia, ia menilai inefisiensi justru bisa mencapai dua kali lipat.
“Kalau 60 persen anggaran habis untuk belanja pegawai, dan 30 persen hilang karena sistem yang tidak efisien, sisanya tinggal 10 persen. Apa cukup untuk membangun ekonomi?” ucapnya retoris.
Ia juga menyentil struktur politik Indonesia yang menurutnya terlalu banyak diwarnai “raja-raja kecil”—istilah yang ia pakai untuk menggambarkan banyaknya partai politik dan kelompok yang menyedot anggaran negara dalam jumlah besar.