JakartaInsideCom – Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi mencakup pemberian dalam bentuk uang, barang, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, hingga layanan eksklusif lainnya.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi terkait jabatannya wajib melaporkannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam waktu 30 hari kerja.
Perbedaan utama antara gratifikasi dan suap terletak pada adanya kesepakatan antara pemberi dan penerima.
Pada kasus suap, terdapat transaksi quid pro quo yang mengharuskan penerima melakukan tindakan tertentu yang menguntungkan pemberi.
Sementara itu, pemberi gratifikasi dapat memberikan sesuatu tanpa kesepakatan eksplisit, meskipun hal itu berpotensi memengaruhi keputusan penerima di masa depan.
Gratifikasi menjadi salah satu isu krusial dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Praktik gratifikasi telah lama melekat dalam budaya masyarakat, terutama dalam hubungan antara pejabat publik dan masyarakat.
Sering kali, masyarakat menganggap wajar pemberian hadiah kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Namun, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mewajibkan penyelenggara negara yang menerima gratifikasi terkait jabatannya untuk melaporkannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam waktu 30 hari kerja.
Kasus–kasus gratifikasi yang terungkap kerap melibatkan pejabat tinggi, termasuk kepala daerah, hakim, dan pejabat kementerian.
Pemberian dalam bentuk uang, barang, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, hingga komisi bisnis sering kali menjadi modus utama dalam kasus ini.