JakartaInsideCom–Di sebuah desa kecil bernama Al-Birwa, seorang lahir di tengah sunyi dan ketegangan jajahan.

Ia tumbuh bukan hanya dengan bahasa ibu, tetapi juga dengan kesedihan purba yang diam-diam menjelma . itu kelak bernama Mahmoud Darwish, seorang penyair yang bukan hanya menulis , tapi menanam luka dan harapan dalam setiap baitnya.

Pada 1948, desa tempat ia dilahirkan lenyap oleh . Darwish dan keluarganya mengungsi ke , lalu kembali ke dalam status yang lebih menyakitkan: hidup sebagai warga asing di sendiri.

“Ketika saya menulis tentang zaitun, saya menulis tentang semua yang hilang,” ujar Darwish, sebagaimana dikutip The . Zaitun dalam puisinya bukan hanya pohon, tetapi ingatan kolektif, akar identitas, dan rasa kehilangan yang tak henti-hentinya tumbuh.

Identitas dalam Sepotong Kertas

Darwish menulis pertamanya di usia sangat muda. Tapi barulah pada 1964, dunia Arab benar-benar mendengar suaranya melalui Identity Card. Ia membuka itu dengan baris tajam dan sederhana: “I am an Arab.”

Bait itu menjalar cepat, dari jalanan Ramallah hingga ke tenda-tenda pengungsi di . itu membuatnya ditahan oleh otoritas dan dimasukkan ke dalam daftar pengawasan. Namun bagi Darwish, bukan senjata. Bukan pula manifesto.

adalah batin tentang absurditas dunia,” katanya, dikutip dari laman The Guardian. Maka meski puisinya menyoroti , Darwish menolak disebut agitator. Ia menyebut dirinya penjaga bahasa, bukan penjaga bendera.

: Tubuh, Kekasih, dan Luka
Seiring waktu, -puisinya berubah. Dari amarah menjadi elegi, dari teriakan menjadi gumam sunyi.

Dalam Prince of Poets yang diterbitkan The American Scholar, disebutkan bahwa dalam Darwish bukan lagi sekadar , melainkan tubuh, luka, bahkan kekasih yang terus memanggil dari jarak dan waktu.

Darwish, mengutip Al Jazeera, menjelma penyair diaspora. Suaranya tak hanya bergema bagi , tetapi juga bagi siapa saja yang tercerabut dari rumah, , dan bahasa ibu. Dalam pengasingan, ia membangun sebuah rumah baru: .

Di Al-Zanabeq Al-Bayda‘ (Lili Putih), Darwish menulis tentang bukan sebagai lambang estetika, tetapi simbol kehidupan yang rapuh namun tetap layak dirawat. Masarat.ps menyebut itu sebagai pengakuan tentang yang genting.

Saat ditanya siapa “pemimpi lili” dalam itu, Darwish menjawab singkat, “Siapa saja yang masih menyimpan harapan, meski semuanya telah runtuh,” sebagaimana dikutip dari Alquds.co.uk.

Bahasa Lebih Jujur dari

Darwish sempat masuk ke dunia . Ia menulis Deklarasi Kemerdekaan tahun 1988 dan menjadi anggota PLO. Tapi ia segera mundur. “ membatasi, membebaskan,” sebagaimana ditulis dalam laman The American Scholar.

, menurutnya, terlalu banyak . , sebaliknya, memberi ruang untuk ragu. Untuk menangis. Untuk bermimpi tanpa harus menjelaskan.

Ia memilih kata, bukan kursi. Ia memilih metafora, bukan strategi. Karena bagi Darwish, bisa merawat luka yang tak sanggup dipetakan oleh dan berita utama.

Di Antara Reruntuhan, Terus Dibaca
Ketika Darwish wafat pada 2008, ribuan orang berkumpul di Ramallah untuk mengiringi kepergiannya. Tapi yang lebih penting, -puisinya tak pernah ikut mati.

Dari sekolah-sekolah di Tepi Barat hingga reruntuhan , dari kafe di Haifa hingga panggung-panggung kecil di Paris, bait-bait Darwish terus dibacakan.

Mengutip Al Jazeera, Darwish adalah rumah bagi mereka yang kehilangan rumah. Darwish adalah bahasa bagi mereka yang kehilangan suara.

Darwish tidak menulis untuk menjawab. Ia menulis agar kita terus bertanya. Dan barangkali, karena itulah puisinya tetap hidup—di yang luka, di yang masih menyimpan mimpi sejati.