JakartaInsideCom–Pablo Neruda, penyair kelahiran Chile yang namanya identik dengan cinta dan revolusi, tetap menjadi figur yang memantik perdebatan lintas generasi dan geografi.
Lebih dari sekadar arsitek kata, Neruda—yang lahir dengan nama Neftalí Ricardo Reyes Basoalto pada 1904—merupakan tokoh politis, diplomat, dan saksi sejarah yang turut mewarnai pergolakan Amerika Latin sepanjang abad ke-20.
Sebagaimana dicatat dalam Britannica, ayah Neruda adalah seorang pekerja kereta api, sementara ibunya—yang meninggal tak lama setelah kelahirannya—berprofesi sebagai guru sekolah. Masa kecilnya yang sunyi di Temuco menjadi lahan subur bagi kegemarannya menulis. Pada usia 16 tahun, ia mulai menggunakan nama pena “Pablo Neruda” untuk menghindari tentangan ayahnya terhadap puisi.
Karya pertamanya yang mengguncang dunia sastra ialah Veinte Poemas de Amor y una Canción Desesperada (1924), sebuah kumpulan puisi cinta yang membakar dan getir. Menurut Poetry Foundation, puisi–puisi dalam buku ini memadukan sensualitas tubuh manusia dengan melankolia lanskap Amerika Selatan. Buku tersebut terjual lebih dari satu juta eksemplar—pencapaian langka untuk sebuah karya puisi berbahasa Spanyol.
Namun gairah Neruda tak berhenti pada tema cinta. Dalam Residencia en la Tierra, ia mulai mengeksplorasi alienasi, absurditas, dan horor modernitas, dengan pengaruh kuat dari gerakan surealisme. Pandangan dunianya yang semakin politis mencapai puncaknya dalam Canto General (1950), sebuah epos sepanjang 15.000 baris yang mendokumentasikan sejarah Amerika Latin dari perspektif rakyat tertindas, sebagaimana dicatat dalam laman Fundación Neruda.
Diplomasi, Komunisme, dan Pengasingan
Karier diplomatik Neruda membawanya ke Asia, Eropa, hingga Meksiko, dan menjadikannya saksi langsung atas kekejaman Perang Saudara Spanyol. Ia menjalin persahabatan erat dengan Federico García Lorca, penyair yang kemudian dibunuh oleh rezim fasis Franco.
Menurut Poets.org, kematian Lorca merupakan titik balik dalam kehidupan Neruda. Ia bergabung dengan Partai Komunis Chile dan menjabat sebagai senator pada 1945, namun kemudian menjadi buronan setelah partainya dilarang. Dalam pelariannya—termasuk pelintasan Pegunungan Andes secara ilegal—Neruda menulis dengan kemarahan yang disublimasi menjadi cinta bagi rakyatnya. “Saya telah mencoba menjadi suara bagi mereka yang tak bersuara,” ujarnya dalam pidato Nobel, sebagaimana dikutip NobelPrize.org, yang ia sampaikan di Stockholm pada 1971, saat dianugerahi Nobel Sastra atas karya–karya yang disebut “membangkitkan takdir dan impian sebuah benua dengan kekuatan elemental”.