Secara ritmis, puisi ini memanfaatkan jeda alami dengan penempatan kata dan ruang kosong di setiap bait. Pemisahan kata “Sontoloyo!” dalam satu baris menciptakan jeda dramatis, memperkuat dampak emosionalnya.
Seruan ini bisa diartikan sebagai bentuk kecaman yang ditujukan langsung kepada pihak yang dikritik. Sementara itu, ruang kosong sebelum “Rezim Sontoloyo!” memperkuat efek akhir puisi, memberikan kesan penutup yang tajam.
Dari segi diksi, puisi ini menggunakan bahasa yang lugas dan blak-blakan, dengan nada emosional yang kuat, satir, dan sarkastik.
Kata “Sontoloyo” berulang sebagai seruan khas dalam bahasa Indonesia yang bermakna negatif, sering digunakan untuk menyampaikan kekesalan atau ejekan. Kata ini memberikan efek kejutan, memperkuat nada marah, sekaligus menegaskan kritik dalam puisi.
Bait terakhir, “Rezim Sontoloyo!”, semakin memperjelas kritik terhadap pemerintahan, seolah menyasar langsung pada rezim yang dianggap gagal.
Kondisi sosial, ekonomi, dan politik dalam puisi ini ditampilkan melalui diksi seperti “meroket“, “nyungsep“, “melimpah“, “impor“, “utang numpuk“, “rupiah anjlok“, dan “harga–harga naik“.
Kata-kata ini menggambarkan ketimpangan dan kontradiksi dalam kebijakan pemerintah—pertumbuhan ekonomi yang diklaim baik, tetapi justru menyebabkan kesulitan bagi rakyat.
Kritik ini bisa diartikan sebagai ketidakpuasan terhadap kebijakan negara atau sekadar potret kondisi rakyat yang menderita akibat keputusan pemerintah.
Puisi ini juga memanfaatkan makna denotatif dan konotatif dalam pilihan katanya, misalnya:
“Sontoloyo” secara denotatif berarti bodoh atau tidak masuk akal, sementara secara konotatif adalah makian terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap gagal.
“Ekonomi meroket” secara denotatif berarti ekonomi tumbuh pesat, tetapi secara konotatif menyindir propaganda pemerintah yang tidak sesuai kenyataan.
“Nyungsep meleset” secara denotatif berarti jatuh atau gagal, sedangkan secara konotatif merujuk pada krisis ekonomi yang ditutupi oleh pemerintah.
“Impor tidak bisa dicegah” secara denotatif berarti barang luar negeri masuk tanpa kontrol, sementara secara konotatif mengkritik ketergantungan ekonomi terhadap negara lain.
“Utang numpuk bertambah” secara denotatif berarti jumlah utang meningkat, tetapi secara konotatif menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mengelola keuangan negara.