JakartaInsideCom – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi puncak musim kemarau 2025 akan terjadi pada Juni hingga Agustus. Menurut Plt. Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, awal musim kemarau di Indonesia akan bervariasi. Beberapa daerah akan mengalami kemarau lebih awal, sementara yang lain justru lebih lambat dari biasanya.
Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, menegaskan bahwa tahun ini kondisi cuaca tidak akan seekstrem 2023, yang kala itu terdampak fenomena El Niño dan memicu banyak bencana kekeringan serta kebakaran hutan. Meski begitu, wilayah–wilayah tertentu tetap harus waspada terhadap potensi musim kemarau lebih kering dari biasanya, seperti Sumatera bagian utara, Sulawesi tengah, dan Papua bagian selatan.
Dampak Musim Kemarau pada Ketahanan Pangan dan Sumber Daya Air
Salah satu sektor yang paling terdampak adalah pertanian. Para petani perlu menyesuaikan jadwal tanam serta mengadopsi sistem irigasi yang lebih efisien untuk menghindari risiko gagal panen. Selain itu, wilayah yang mengalami kemarau lebih basah juga perlu mengantisipasi curah hujan yang tidak menentu agar produksi pangan tetap stabil.
Di sektor sumber daya air, pengelolaan waduk dan bendungan menjadi kunci utama dalam menghadapi musim kemarau. Pemerintah daerah harus mengoptimalkan distribusi air agar ketersediaannya tetap terjaga, terutama di wilayah yang berisiko mengalami penurunan debit air.
Selain itu, peningkatan suhu selama musim kemarau juga dapat berdampak pada sektor kesehatan dan lingkungan. Peningkatan polusi dan debu diperkirakan akan menurunkan kualitas udara di kota–kota besar. Oleh karena itu, BMKG meminta masyarakat untuk lebih waspada terhadap dampak kesehatan akibat cuaca kering yang berkepanjangan.
Antisipasi dan Kesiapan Masyarakat
BMKG menekankan bahwa setiap sektor harus meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi musim kemarau. Masyarakat perlu menghemat air, sementara pemerintah daerah harus meningkatkan pengawasan terhadap potensi kebakaran hutan dan lahan. Selain itu, sektor energi harus lebih efisien dalam menggunakan air untuk operasional Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
“Prediksi musim kemarau 2025 ini harus menjadi acuan bagi seluruh sektor untuk mengoptimalkan sumber daya yang ada agar dampaknya bisa diminimalkan,” kata Dwikorita.