–20 menjadi pengingat abadi akan sebuah peristiwa yang mengguncang jazirah Arab lebih dari 1.450 tahun lalu—penyerangan Ka’bah oleh pasukan gajah yang dipimpin Abrahah, Kristen dari Yaman.

Peristiwa itu, dalam literatur , dikenal sebagai (‘Am al-Fil), bukan hanya sebagai narasi kekalahan imperium, tapi juga sebagai latar seorang yang kelak mengubah wajah peradaban.

Upaya Abrahah dominasi kultural lewat katedral megah di Sana’a berujung kegagalan. Bangsa Arab tetap menjadikan Ka’bah sebagai pusat mereka. Frustrasi berubah menjadi agresi. Abrahah bergerak ke jantung Mekah dengan pasukan dan gajah , ingin menghancurkan tua yang dianggap meredupkan pamor katedralnya.

Namun menulis akhir berbeda. Sebagaimana diabadikan dalam Al-Fil, pasukan itu hancur lebur oleh Ababil yang menjatuhkan batu dari liat panas. Serangan itu tak pernah sampai ke titik akhir. Yang tersisa justru adalah puing ambisi kekuasaan dan gema mukjizat yang diyakini umat sebagai perlindungan Ilahi atas Baitullah.

Tahun itu tak hanya menandai kegagalan invasi. Ia juga menjadi awal perjalanan seorang yatim bernama Muhammad, yang lahir tak lama setelah peristiwa tersebut. Dalam sunyi dan kehilangan, kenabian justru dirintis. Abdullah, ayah Muhammad, wafat dalam perjalanan niaga ke Yatsrib (kini ), meninggalkan istri dan bayi dalam perut yang belum sempat mengenal wajah ayahnya.

Duka itu mengalir dalam ratapan yang menyayat hati, Abdul Muthalib, kakek , yang dikutip NuOnline dari Syekh Nawawi al-Bantani dalam Madarijus Su’ud: “Allah telah mengambil ayah Rasulullah, menjadikan yatim dalam kesendiriannya, namun Rasulullah tetap dalam kasih sayang-Nya, jiwaku menjadi tebusan untuk orang yang tabah dalam ke-yatim-an.”

bukan hanya catatan tentang kekalahan pasukan bergajah. Ia adalah titik mula dari narasi yang lebih besar: lahirnya risalah tentang kasih, keadilan, dan pembebasan, yang dibawa seorang yatim dari Mekah, menembus batas-batas zaman dan peradaban.