– Polemik Hak Cipta kembali mencuat dalam gelaran Debat Terbuka: vs Visi, FESMI dan PAPPRI yang digelar pada Rabu, 10 pukul 15.00 WIB di Bagaspati Meeting Room, lantai 9 Artotel , Jakarta.

Debat terbuka yang mengangkat topik “UU Hak Cipta” ini menghadirkan sejumlah narasumber ternama dari , di antaranya senior , gitaris Padi Piyu, sekaligus Kadri Mohamad, dan Jino. Acara ini juga diliput oleh berbagai media dan mendapat sorotan luas dari pelaku .

Dalam pernyataannya, menegaskan bahwa dalam hukum hak cipta di , atau tidak seharusnya dibebani tanggung jawab royalti untuk yang mereka bawakan dalam sebuah pertunjukan.

“Kalau bicara , itu sudah diatur dalam 2, 3, dan 5 UU Hak Cipta. Pengguna adalah penyelenggara acara, bukan ,” ujar Dhani di hadapan awak media dan peserta diskusi. Ia juga menyatakan bahwa 9 dalam UU tersebut khusus mengatur hak ekonomi seperti mekanikal dan sinkronisasi, bukan performing rights.

Dhani menyebut telah mengonfirmasi hal ini ke sejumlah lembaga royalti seperti BRS dan APRA. “Di , tidak pernah ditagih royalti. Mereka cuma tampil dan menerima . Yang wajib membayar adalah penyelenggara,” tegasnya.

Kadri Mohamad, yang juga hadir sebagai narasumber, menyoroti pentingnya harmonisasi antar dalam UU Hak Cipta agar tidak terjadi multitafsir di lapangan. “Kita perlu kejelasan, agar pelaku seni bisa bekerja tanpa tekanan hukum yang membingungkan,” ujarnya.

Piyu dari Padi dan Jino turut memberikan pandangan seputar praktik royalti dan perlindungan terhadap pencipta serta pelaku pertunjukan. Mereka sepakat bahwa perlu ada mekanisme distribusi royalti yang adil dan transparan.

Acara debat ini diinisiasi oleh FESMI (Federasi Serikat ) dan PAPPRI ( , Pencipta , dan Pemusik Republik ) sebagai ruang dialog konstruktif untuk membedah regulasi hak cipta yang berdampak langsung pada para dan pekerja seni.

Diskusi berlangsung dinamis, dan diakhiri dengan harapan agar segera meninjau ulang implementasi UU Hak Cipta agar lebih berpihak pada keadilan bagi seluruh pelaku .