Di tengah dinamika yang belum pulih sepenuhnya, wacana anggaran kembali mengemuka. Bukan hanya dari kalangan birokrat, tetapi juga dari di luar lingkar kekuasaan. Salah satunya datang dari Mardigu Wowiek Prasantyo, pengusaha sekaligus pengamat yang dikenal dengan nama .

Melalui kanal pribadinya, Mardigu melontarkan kritik tajam terhadap pola pengelolaan anggaran . Ia menilai bahwa sejati bukan sekadar memotong pengeluaran, tetapi bagaimana setiap anggaran memberi langsung bagi , khususnya bagi sektor-sektor seperti pertanian dan mikro.

“Kalau anggaran perjalanan dinas, seminar, dan sudah ditebas, lalu dialihkan ke seperti Bergizi (MBG), pertanyaannya, kenapa petaninya masih belum sejahtera? Kenapa pengelola dapurnya malah rugi?” ujarnya, sebagaimana dikutip dalam kanal , Minggu (13/04/).

Pertanyaan itu menyimpan keresahan yang lebih dalam: apakah yang dilakukan benar-benar berpihak pada rakyat dan berdampak pada riil?

Bukan Sekadar

Di balik pernyataan Mardigu, tersirat kegelisahan terhadap praktik pengelolaan anggaran yang dianggap masih jauh dari ideal. Ia menyebut adanya potensi kebocoran anggaran hingga 30 persen, yang menurutnya banyak diserap oleh kelompok-kelompok kepentingan, mulai dari massa hingga partai .

Bandingannya cukup gamblang. Di Serikat, kata Mardigu, inefisiensi anggaran sebelum berkisar di angka 15 persen. Sementara di , ia menilai inefisiensi justru bisa mencapai dua kali lipat.

“Kalau 60 persen anggaran habis untuk pegawai, dan 30 persen hilang karena yang tidak efisien, sisanya tinggal 10 persen. Apa cukup untuk ?” ucapnya retoris.

Ia juga menyentil struktur yang menurutnya terlalu banyak diwarnai “raja-raja kecil”—istilah yang ia pakai untuk menggambarkan banyaknya partai dan kelompok yang menyedot anggaran dalam jumlah besar.