Otoritas dan Politik Fatwa
Fatwa, dalam tradisi Islam, bukan hukum yang mengikat, namun tetap memiliki daya pengaruh luas tergantung dari otoritas ulama yang mengeluarkannya.
Dalam hal ini, Qaradaghi—tokoh terkemuka dalam IUMS yang berbasis di Doha dan Istanbul—mewakili semangat perlawanan transnasional yang kerap menabrak garis batas politik negara-bangsa.
Namun, bagi Nazir Ayyad dan lembaga-lembaga keulamaan resmi seperti Al-Azhar, fatwa jihad semestinya hanya boleh dikeluarkan oleh negara melalui lembaga-lembaga yang diakui secara politik dan legal.
“Pada masa sekarang, otoritas fatwa terkait jihad ada pada negara dan pemimpin sah, bukan dari organisasi yang tidak mewakili umat Islam secara menyeluruh,” tegas Ayyad.
Pernyataan Ayyad seolah menandai perpecahan lama antara dua poros keulamaan: yang satu bernafas gerakan Islam transnasional, yang lain bersandar pada stabilitas negara dan struktur hukum formal.
Antara Agenda dan Kepentingan Umat
Ayyad tidak menolak hak rakyat Palestina untuk dibela. Ia bahkan menegaskan bahwa membela mereka adalah kewajiban agama dan moral.
Namun, menurutnya, cara yang diambil haruslah “benar-benar melayani kepentingan rakyat Palestina, bukan menjadi alat agenda politik tertentu yang berujung pada kehancuran lebih lanjut.”
Polemik ini mencerminkan perdebatan lama di dunia Islam tentang siapa yang berhak berbicara atas nama umat.
Saat penderitaan rakyat Gaza terus berlangsung—dengan lebih dari 30 ribu jiwa tewas dan infrastruktur sipil luluh lantak—fatwa jihad bisa menjadi suara harapan atau bara dalam sekam, tergantung siapa yang mendengarnya.