Jakartainside.com—Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, menilai Presiden tengah melakukan perubahan arah politik pasca-Lebaran sebagai upaya untuk memulihkan kepercayaan publik yang sempat tergerus.
Dalam pernyataannya, Mahfud menyebut langkah Presiden yang kini lebih terbuka dan akomodatif sebagai sinyal adanya pengakuan diam-diam atas merosotnya kepercayaan masyarakat. Salah satu indikator yang disorotnya adalah pelemahan nilai tukar rupiah dan anjloknya indeks saham nasional pada awal April 2025.
“Dalam dua pekan terakhir, kita lihat Presiden mulai terbuka pada publik. Pertemuan dengan media pasca-Lebaran itu adalah manuver politik baru. Presiden tampaknya sadar bahwa kepercayaan rakyat belum sepenuhnya pulih,” ujar Mahfud, dikutip dari kanal YouTube resminya, Mahfud MD Official, Rabu (16/4/2025).
Mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia ini juga menilai, selama ini komunikasi publik Presiden kerap gagal merespons keresahan masyarakat. Ia menyinggung kembali pernyataan-pernyataan yang sempat viral, seperti frasa “ndasmu”, yang menurutnya menunjukkan jarak dan ketidaksensitifan pemerintah terhadap kritik publik.
Mahfud juga mengaitkan perubahan pendekatan Presiden dengan dinamika politik nasional, termasuk hubungannya dengan mantan Presiden Joko Widodo dan pertemuan mendadak dengan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri.
“Pertemuan dengan Megawati bisa dibaca sebagai langkah taktis untuk mencari sekutu baru dalam kondisi yang mendesak. PDIP sebelumnya menyatakan tak akan masuk kabinet, tetapi terbuka untuk kerja sama di parlemen. Ini menunjukkan adanya pergeseran sikap yang signifikan,” jelasnya.
Mahfud menegaskan bahwa arah baru politik tidak bisa hanya dilihat dari hasil survei. “Survei hanyalah alat bantu. Politik sejatinya soal kepercayaan (trust), dan itu dibangun dari tindakan konkret, bukan sekadar angka,” katanya.
Di bidang penegakan hukum, Mahfud mengapresiasi langkah Kejaksaan Agung yang dinilainya semakin independen dan progresif. Namun, ia juga menyoroti inkonsistensi dalam penanganan sejumlah kasus besar yang berhenti di pelaku level bawah dan tidak menyentuh aktor utama.
Ia mencontohkan kasus penyalahgunaan impor gula yang hanya menyasar periode 2015–2016, padahal indikasi praktik serupa terjadi hingga 2023. Hal serupa terjadi pada kasus dugaan pengoplosan minyak Pertamina.
“Kasus hukum sering berhenti pada pelaku kecil. Begitu masuk ke wilayah oligarki atau elite koalisi, prosesnya mendadak stagnan. Ini catatan penting bagi penegakan hukum ke depan,” tegas Mahfud.
Menutup pernyataannya, Mahfud berharap langkah baru Presiden benar-benar menjawab aspirasi rakyat dan bukan sekadar respons reaktif terhadap tekanan politik dan ekonomi jangka pendek.