JakartaInsideCom–Suara-suara penentangan dari dalam tubuh militer dan intelijen Israel terhadap agresi ke Gaza kian lantang.
Sebanyak 250 mantan anggota Mossad, Shin Bet, dan dinas intelijen militer lainnya menandatangani petisi mendesak pemerintah agar mengakhiri serangan militer di Gaza dan memprioritaskan pemulangan para sandera.
Petisi itu, yang dikutip dari The Guardian, menyebutkan bahwa perang saat ini hanya menguntungkan segelintir elite politik, terutama Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang dinilai “mempertaruhkan nyawa warga dan tentara demi kelangsungan kekuasaannya.” Dalam dokumen itu pula, para penandatangan menyebut: “Perang ini tidak lagi berfungsi demi keamanan nasional, melainkan demi kepentingan politik pribadi.”
Data resmi militer Israel (IDF) mencatat, dari 129 sandera yang diculik Hamas dalam serangan 7 Oktober 2023, sekitar 105 diyakini masih hidup.
Namun, sumber internal menyebut hanya 24 orang yang dipastikan dalam kondisi hidup berdasarkan komunikasi terakhir dengan mediator Mesir dan Qatar.
Desakan agar perang dihentikan tidak hanya datang dari para eks intelijen. Dalam sepekan terakhir, gelombang surat terbuka dan petisi serupa diterbitkan oleh lebih dari 1.000 prajurit cadangan dan perwira pensiunan Angkatan Udara.
Dukungan juga datang dari Unit 8200—unit siber dan intelijen terbesar dalam IDF—serta ratusan dokter cadangan.
Lebih dari 1.500 prajurit aktif dan veteran dari korps lapis baja dan pasukan terjun payung juga menandatangani pernyataan serupa.
“Kami telah mengemudikan tank, memimpin pasukan, dan membayar harga yang mahal. Karena itu kami tahu: perang ini harus dihentikan,” ujar Kolonel Rami Matan, mantan wakil komandan IDF, yang menulis pernyataan tersebut.
Namun, Netanyahu merespons dengan keras. Ia menyebut para penandatangan sebagai “kelompok pinggiran ekstrem” dan memerintahkan pemecatan terhadap setiap prajurit cadangan aktif yang terlibat.
Di sisi lain, proses negosiasi gencatan senjata kembali digelar di Kairo dengan mediator dari Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat.
Israel dilaporkan mengajukan proposal pembebasan 10 sandera sebagai imbalan atas gencatan senjata awal selama 45 hari.
Menurut Al Mayadeen, tahap kedua negosiasi akan mencakup pembahasan gencatan senjata permanen, penarikan pasukan Israel dari Gaza, serta pelucutan senjata Hamas.
Namun, Hamas menolak pendekatan bertahap tersebut. Pejabat senior Hamas, Taher Al Nunu, menyatakan bahwa organisasinya hanya bersedia membebaskan sandera jika Israel sepakat menghentikan perang secara total dan menarik pasukannya dari Jalur Gaza.
“Kami siap membebaskan semua sandera sebagai bagian dari pertukaran tawanan serius, tapi pelucutan senjata Hamas tidak bisa dinegosiasikan,” tegasnya.
Di dalam negeri, tekanan terhadap Netanyahu juga datang dari kelompok keluarga sandera. Hostages and Missing Families Forum menolak skema pembebasan bertahap.
“Pendekatan ini berisiko membahayakan nyawa para sandera dan memperpanjang penderitaan mereka,” bunyi pernyataan resmi mereka.
Perang yang pecah sejak Oktober 2023 telah menewaskan 1.218 warga Israel. Di sisi lain, Kementerian Kesehatan Gaza mencatat 50.983 korban jiwa, termasuk ribuan perempuan dan anak–anak.
Gencatan senjata terakhir yang sempat berlangsung pada Januari, kembali runtuh pada 18 Maret dan memicu gelombang serangan terbaru yang menewaskan 1.613 warga Palestina dalam sebulan terakhir.
Meski diplomasi masih berjalan, kedua pihak tetap bersikeras pada posisi mereka: Hamas menuntut penghentian perang permanen dan akses bantuan kemanusiaan, sementara Israel bersikukuh pada syarat pelucutan senjata Hamas sebelum menyepakati gencatan senjata penuh.