–Suara-suara penentangan dari dalam tubuh dan intelijen terhadap agresi ke Gaza kian lantang.

Sebanyak 250 mantan anggota Mossad, Shin Bet, dan dinas intelijen militer lainnya menandatangani agar mengakhiri serangan militer di Gaza dan memprioritaskan pemulangan para sandera.

itu, yang dikutip dari The Guardian, menyebutkan bahwa saat ini hanya menguntungkan segelintir elite politik, terutama Perdana Benjamin , yang dinilai “mempertaruhkan nyawa warga dan demi kelangsungan kekuasaannya.” Dalam dokumen itu pula, para penandatangan menyebut: “ ini tidak lagi berfungsi demi , melainkan demi kepentingan politik .”

Data resmi militer (IDF) mencatat, dari 129 sandera yang diculik Hamas dalam serangan 7 Oktober , sekitar 105 diyakini masih hidup.

Namun, sumber internal menyebut hanya 24 orang yang dipastikan dalam kondisi hidup berdasarkan komunikasi terakhir dengan mediator dan Qatar.

Desakan agar dihentikan tidak hanya datang dari para eks intelijen. Dalam sepekan terakhir, gelombang terbuka dan serupa diterbitkan oleh lebih dari 1.000 prajurit cadangan dan perwira pensiunan Angkatan Udara.

Dukungan juga datang dari Unit 8200—unit siber dan intelijen terbesar dalam IDF—serta ratusan cadangan.

Lebih dari 1.500 prajurit aktif dan veteran dari korps lapis baja dan pasukan terjun payung juga menandatangani pernyataan serupa.

“Kami telah mengemudikan tank, memimpin pasukan, dan membayar yang . Karena itu kami tahu: ini harus dihentikan,” ujar Kolonel Rami Matan, mantan wakil komandan IDF, yang menulis pernyataan tersebut.

Namun, merespons dengan keras. Ia menyebut para penandatangan sebagai “kelompok pinggiran ” dan memerintahkan pemecatan terhadap setiap prajurit cadangan aktif yang terlibat.

Di sisi lain, proses kembali digelar di Kairo dengan mediator dari Qatar, , dan Amerika Serikat.

dilaporkan mengajukan proposal pembebasan 10 sandera sebagai imbalan atas awal selama 45 hari.

Menurut Al Mayadeen, tahap kedua akan mencakup pembahasan permanen, penarikan pasukan dari Gaza, serta pelucutan senjata Hamas.

Namun, Hamas menolak pendekatan bertahap tersebut. Pejabat senior Hamas, Taher Al Nunu, menyatakan bahwa organisasinya hanya bersedia membebaskan sandera jika sepakat menghentikan secara total dan menarik pasukannya dari Jalur Gaza.

“Kami siap membebaskan semua sandera sebagai bagian dari pertukaran tawanan serius, tapi pelucutan senjata Hamas tidak bisa dinegosiasikan,” tegasnya.

Di dalam negeri, tekanan terhadap juga datang dari kelompok keluarga sandera. Hostages and Missing Families Forum menolak skema pembebasan bertahap.

“Pendekatan ini berisiko membahayakan nyawa para sandera dan memperpanjang penderitaan mereka,” bunyi pernyataan resmi mereka.

yang pecah sejak Oktober telah menewaskan 1.218 warga . Di sisi lain, Kementerian Gaza mencatat 50.983 korban , termasuk ribuan perempuan dan .

terakhir yang sempat berlangsung pada Januari, kembali runtuh pada 18 Maret dan memicu gelombang serangan terbaru yang menewaskan 1.613 warga dalam sebulan terakhir.

Meski diplomasi masih berjalan, kedua pihak tetap bersikeras pada posisi mereka: Hamas menuntut penghentian permanen dan akses bantuan kemanusiaan, sementara bersikukuh pada syarat pelucutan senjata Hamas sebelum menyepakati penuh.