YOGYAKARTA – Sejumlah guru besar serta dosen dari bermacam kampus kemudian institusi pemikiran ke Nusantara mengunjungi Panel Pertemuan Nasional ”Pemikiran Kepemimpinan Indonesia” pada University Club (UC) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Hari Sabtu (16/3/2024).
Kegiatan itu dijalankan dalam tengah-tengah maraknya aksi keprihatinan para akademisi di bervariasi kampus lalu kota pada menyikapi kemerosotan kualitas demokrasi pada langkah-langkah suksesi kepemimpinan nasional 2024.
Menurut Dr Untoro Hariadi, Ketua Pertemuan 2045 yang digunakan merupakan organisasi pelaksana acara, para profesor serta pendidik merasa perlu menyodorkan rumusan alternatif mengenai kepemimpinan Tanah Air agar di dalam masa mendatang bangsa ini tiada terjerembab pada kesalahan yang dimaksud sama.
”Kita ingin memasukkan pertimbangan kualitatif agar suksesi kepemimpinan Indonesi pada masa depan bukan semata-mata ditentukan oleh angka-angka elektoral tetapi pada proses rekrutmennya telah memasukkan aspek–aspek kapasitas, integritas, dan juga kredibilitas,” ujarnya.
Lima pembicara dihadirkan pada kegiatan yang digunakan diselenggarakan secara hybrid (online lalu offline) yakni Sudirman Said (Ketua Institut Harkat Negeri), Prof Dr Armaidy Armawi (Guru Besar Filsafat UGM), Prof Dr M Baiquni (Guru Besar Geografi UGM), Prof Dr Ni’matul Huda (Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia), lalu Prof Dr Heru Kurnianto Tjahjono (Guru Besar Manajemen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta).
Sudirman Said sebagai pembicara yang memaparkan gagasan dasar kepemimpinan Nusantara mengatakan, kepemimpinan harus dibedakan secara mendasar dengan jabatan atau kedudukan. Sebab, kepemimpinan merupakan perilaku yang tersebut dibentuk oleh kompetensi, karakter kemudian nilai-nilai yang digunakan memandu bertambah kembang pribadi individu.
”Apakah manusia pejabat rakyat merupakan pemimpin atau bukan, tentu tergantung perilaku di menjalankan tugas-tugasnya,” ungkapnya.
Menurut dia, situasi sosial kebijakan pemerintah yang tumbuh ketika ini kurang mengupayakan bagi pengembangan kepemimpinan yang dimaksud ideal. Ekosistem kepemimpinan nasional yang mana berisi fenomena menguatnya urusan politik dinasti juga keberpihakan kekuasaan pada rute elektoral, pelanggaran etika masyarakat dan juga rekayasa hukum secara terang-terangan, hingga maraknya praktik KKN turut mewarnai karakter kepemimpinan nasional.
”Karena itu, kita memerlukan sebuah Undang-Undang yang mana mengatur rekrutmen kepemimpinan rakyat agar memasukkan pula syarat-syarat kualitatif. Proses seleksi kepemimpinan nasional tak mampu hanya sekali ditentukan angka-angka sehingga menyebabkan demokrasi kehilangan ruh substansial,” kata Sudirman.
Artikel ini disadur dari Tindaklanjuti Gerakan Kampus Memanggil, Para Profesor Kaji Ulang Syarat Kepemimpinan Indonesia