Penulis : Muyassar Nugroho (Kader )

Pemilihan kepala daerah () di Indonesia telah menjadi isu strategis sejak diterapkannya pemilihan langsung pada tahun 2005. 

ini memberikan rakyat hak penuh untuk memilih daerah secara langsung, mencerminkan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat. Namun, tingginya biaya , polarisasi masyarakat, dan konflik sosial sering kali muncul sebagai dampak dari pelaksanaan langsung.

Kini, wacana pengembalian mekanisme pemilihan kepala daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali mencuat. 

Pendukung wacana ini menilai bahwa pemilihan melalui DPRD lebih efisien, mengurangi konflik sosial, dan menekan biaya .

Sebaliknya, kritik terhadap mekanisme ini menyebutkan bahwa langkah tersebut dapat mengancam akuntabilitas , mengurangi partisipasi rakyat, dan membuka peluang transaksional.

Secara teoretis, baik langsung maupun tidak langsung memiliki landasan masing-masing. 

Pemilihan langsung mencerminkan kedaulatan rakyat seperti yang dikemukakan Robert A. Dahl dalam Polyarchy, yang menekankan partisipasi aktif masyarakat dalam demokrasi. Namun, tingginya biaya dan risiko konflik horizontal menjadi besar ini.

Sebaliknya, teori elitisme Joseph Schumpeter menyatakan bahwa demokrasi adalah kompetisi di antara elit untuk mendapatkan mandat rakyat melalui lembaga perwakilan. 

Dalam konteks ini, pemilihan melalui DPRD dinilai lebih efisien. Namun, ini berpotensi memperkuat oligarki , sebagaimana diungkapkan Jeffrey Winters dalam kajian di Tenggara.

Dari sisi hukum, Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 mengamanatkan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. 

telah menafsirkan istilah “demokratis” sebagai pemilihan langsung. Oleh karena itu, mekanisme ini memerlukan revisi terhadap UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang dan kerangka hukum lainnya.

Selain itu, harus mempertimbangkan prinsip kedaulatan rakyat, checks and balances, serta penghormatan terhadap hak masyarakat. 

Transparansi dan akuntabilitas harus menjadi landasan utama agar mekanisme ini tetap sejalan dengan nilai-nilai demokrasi.

Sebagai , memberikan landasan filosofis dalam menentukan . Sila keempat, “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan,” memberikan legitimasi pada mekanisme pemilihan oleh DPRD. Namun, ini harus diimbangi dengan sila kedua dan kelima yang menekankan pentingnya keadilan dan penghormatan terhadap hak rakyat.

Dalam konteks ini, jika mekanisme dikembalikan ke DPRD, maka musyawarah harus dilakukan secara transparan, adil, dan berdasarkan kepentingan rakyat, bukan atas dasar kepentingan partai atau kelompok tertentu.

Daripada mengembalikan mekanisme ke DPRD, reformasi langsung dapat menjadi yang lebih baik. 

Reformasi ini meliputi pengurangan biaya , pengawasan ketat terhadap , dan peningkatan literasi masyarakat. Selain itu, model hybrid yang menggabungkan kedua mekanisme ini dapat menjadi alternatif untuk menjaga antara efisiensi dan partisipasi rakyat.

Pemilihan kepala daerah melalui DPRD memang menawarkan efisiensi dan stabilitas, namun berisiko melemahkan demokrasi dan akuntabilitas

Sebaliknya, langsung membutuhkan reformasi untuk mengatasi tantangannya. Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi demokrasi dan keadilan, Indonesia perlu memastikan bahwa setiap tetap berpijak pada nilai-nilai dan semangat .

Dengan yang hati-hati dan berbasis data, reformasi dapat menjadi langkah strategis untuk memperkuat demokrasi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.