JakartaInsideCom—Di tengah dunia yang didikte oleh kecepatan layar dan arus informasi tanpa henti, Hari Buku Sedunia—yang jatuh setiap 23 April—datang sebagai pengingat senyap bahwa sebelum segala sesuatu diunggah, ia lebih dahulu ditulis.
UNESCO menetapkan Hari Buku Sedunia dan Hak Cipta pada 1995, menjadikan tanggal wafat William Shakespeare dan Miguel de Cervantes sebagai simbol penghormatan terhadap warisan literasi dunia. Namun di Indonesia, peringatan ini justru memperlihatkan sebuah paradoks yang lama: buku hadir, tetapi tidak akrab. Ia dicetak, tetapi jarang dibaca.
Menurut GoodStats, 6 dari 10 orang Indonesia tidak membaca satu buku pun dalam sebulan terakhir. Ini bukan hanya soal minat—tetapi soal infrastruktur literasi yang timpang. Indonesia memang memiliki gedung Perpustakaan Nasional tertinggi di dunia, namun angka itu tak menjamin tingginya budaya membaca.
Padahal, potensi literasi Indonesia tak bisa disepelekan. Sastrawan seperti Pramoedya Ananta Toer dengan Tetralogi Pulau Buru telah membuktikan bahwa karya anak bangsa mampu menembus panggung dunia dan direkomendasikan sebagai bahan ajar.
Namun, literasi tidak hidup dalam ruang pencapaian individual. Ia bergantung pada dukungan sistemik. Sejauh ini, kebijakan fiskal terhadap buku masih belum berpihak pada kemajuan industri. Pajak kertas, royalti penulis, dan distribusi buku ke luar kota besar masih menjadi pekerjaan rumah yang lama.
Hari Buku Sedunia seharusnya tidak hanya menjadi selebrasi atas keberadaan buku, tetapi juga refleksi atas relasi kita dengannya. Buku bukan sekadar produk intelektual, melainkan hak kultural yang mestinya bisa diakses luas, tanpa hambatan geografis maupun ekonomi.
Di negara–negara lain, Hari Buku dirayakan dengan kebijakan nyata: potongan harga, pembebasan pajak atas buku, hingga distribusi gratis bagi sekolah dan komunitas. Indonesia bisa belajar dari praktik-praktik ini—bukan untuk meniru secara mentah, tapi untuk memahami bahwa literasi tidak akan tumbuh tanpa keberpihakan kebijakan.