Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto pada tahun menghadapi berbagai tantangan dan dinamika yang mencerminkan upaya pemerintah untuk menavigasi situasi yang tidak menentu serta tekanan domestik.

Pemerintah telah mengambil langkah-langkah kebijakan sejauh ini yang menunjukkan keberanian dalam merombak struktur anggaran negara, tetapi juga memunculkan pertanyaan tentang efektivitas dan dampaknya terhadap masyarakat luas.

Salah satu kebijakan utama yang menjadi sorotan adalah efisiensi anggaran sebesar 300 triliun rupiah melalui Instruksi No. 1 Tahun . Pemerintah melakukan kebijakan ini dengan memangkas rutin dan mengalihkan sebagian besar ke proyek-proyek strategis, seperti program Merdeka Belajar Gotong Royong (MBG).

Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas nasional dengan menyediakan gratis bagi siswa, tetapi membutuhkan anggaran yang sangat besar, yakni sekitar 171 triliun rupiah.

Pemerintah menganggap langkah ini penting untuk menciptakan yang signifikan, namun banyak pihak mempertanyakan apakah pengorbanan dari sektor lain, seperti dan kesehatan, sepadan dengan hasil yang diharapkan.

Selain itu, keputusan untuk melakukan efisiensi anggaran juga dipengaruhi oleh tekanan fiskal yang besar.

Pada tahun ini, pemerintah Indonesia harus menghadapi jatuh tempo Berharga Negara (SBN) senilai hingga 800 triliun rupiah, yang sebagian besar diterbitkan selama pandemi COVID-19.

Hal ini menambah beban pada anggaran negara di tengah penerimaan pajak yang tidak mencapai target akibat perubahan PPN yang gagal dinaikkan menjadi 12% serta teknis pada sistem Coretax. ini menunjukkan adanya tantangan struktural dalam pengelolaan fiskal yang membutuhkan perhatian serius dari pemerintah.

Namun, langkah efisiensi anggaran ini tidak lepas dari kritik. Banyak pihak menilai bahwa kebijakan tersebut dapat memperlambat pertumbuhan karena pengurangan pemerintah akan berdampak langsung pada konsumsi domestik dan publik.

Beberapa proyek besar bahkan diserahkan kepada sektor swasta dengan alasan efisiensi dan inovasi. Prabowo menyatakan bahwa swasta lebih mampu menangani proyek-proyek seperti jalan tol, pelabuhan, dan secara lebih cepat dan hemat biaya.

Meski demikian, pendekatan ini memunculkan kekhawatiran tentang potensi ketimpangan akses dan ketergantungan pada sektor swasta dalam strategis.

Di sisi lain, pemerintahan Prabowo juga mencoba memprioritaskan swasembada pangan sebagai salah satu agenda utama.

Pemerintah sering menyuarakan retorika tentang kemandirian pangan sebagai bagian dari visi besar untuk mengurangi ketergantungan pada impor dan memperkuat daya tahan domestik.

Namun, implementasi program-program seperti masih menghadapi berbagai kendala teknis dan lingkungan.

Masyarakat mengkritik pembukaan baru secara besar-besaran untuk pertanian karena dianggap mengancam kelestarian dan lokal tanpa jaminan keberhasilan panen.

Dalam makroekonomi, pemerintah menargetkan pertumbuhan sebesar 8% pada tahun sebuah angka ambisius mengingat situasi yang melambat dan tantangan domestik yang kompleks.

Untuk mencapai target tersebut, pemerintahan Prabowo berupaya mendorong asing dan meningkatkan ekspor sebagai motor utama pertumbuhan . Namun, kebijakan efisiensi anggaran yang drastis dapat menghambat pertumbuhan jika pemerintah tidak mengimbangi dengan stimulus yang cukup untuk menjaga daya beli masyarakat.

Selain itu, pendekatan pemerintahan Prabowo tampaknya berusaha meninggalkan model trickle-down economics atau teori penetesan ke bawah yang dianggap terlalu lambat dalam mendistribusikan manfaat kepada masyarakat luas.

Sebaliknya, Prabowo memilih untuk melakukan intervensi langsung oleh negara guna memastikan bahwa kekayaan nasional dapat dirasakan oleh segmen masyarakat yang lebih luas. Hal ini terlihat dari upaya pemerintah untuk melindungi kelompok rentan melalui subsidi pangan dan peningkatan gaji guru non-ASN bersertifikat. Namun demikian, langkah-langkah populis semacam ini dapat menimbulkan risiko bagi pemerintah jika tidak didukung oleh basis fiskal yang kuat.

Beberapa pengamat mencatat bahwa kebijakan-kebijakan tersebut sering kali lebih bersifat politis daripada ekonomis, terutama mengingat tekanan untuk menjaga stabilitas politik dalam koalisi besar pemerintahan Prabowo.

Dengan kabinet yang relatif gemuk sebagai akibat dari kompromi politik, ruang fiskal menjadi semakin sempit sehingga efisiensi anggaran menjadi pilihan yang tak terhindarkan.

Meskipun demikian, tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan Prabowo masih relatif tinggi. Citra kepemimpinan yang tegas serta langkah-langkah pro-rakyat, seperti pembatalan kenaikan PPN setelah mendapat kritik luas, sebagian besar menyebabkan hal ini.

Selain itu, kurangnya resmi terhadap pemerintahan Prabowo juga memberikan ruang bagi pemerintah untuk bergerak tanpa tekanan politik yang berarti.

Ke depan, keberhasilan strategi pemerintahan Prabowo akan sangat bergantung pada kemampuan untuk menyeimbangkan berbagai prioritas nasional dengan keterbatasan anggaran yang ada.

Tantangan terbesar adalah memastikan bahwa kebijakan efisiensi anggaran tidak hanya menjadi untuk menutup defisit fiskal tetapi juga mampu mendorong pertumbuhan secara inklusif dan berkelanjutan.

Indonesia pada tahun berada di persimpangan jalan antara ambisi besar menuju negara maju dan realitas keterbatasan serta tekanan .

Pemerintahan Prabowo memiliki visi yang jelas tentang arah , tetapi implementasi kebijakan akan menjadi kunci utama apakah visi tersebut dapat terwujud atau justru menjadi beban tambahan bagi generasi mendatang.

Dalam situasi seperti ini, pemerintah menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran negara untuk memastikan bahwa setiap rupiah digunakan secara efektif demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

*) Ahmad Dzunnuha, Penulis adalah Mahasiswa SEBI