JakartaInsideCom-Kasus kerusakan fuel pump  kembali merebak di , setelah kasus serupa pernah terjadi di Riau pada tahun 2008, sekalipun kala itu jumlahnya tidak sebanyak yang terjadi di 2010, se-Jawa dan Sumatera (2012) dan kini di Jabodetabek. 

Berdasarkan analisis pada studi yang dilakukan, Komite Penghapusan Bertimbel (KPBB) mengungkapkan kerusakan fuel pump tersebut disebabkan oleh dua hal. “Yaitu, buruknya kualitas dan keberadaan asing (the stranger substance) pada bahan bakar yang digunakan untuk menggerakkan kendaraan bermotor,” kata Ahmad Safrudin, Ketua KPBB di , Selasa (26/11/).

Pria yang akrab disapa Puput ini pun menguraikan, untuk buruknya Kualitas (High Sulfur Fuel), seperti diketahui bahwa sejak Oktober 2018 Indonesia sudah mengadopsi kendaraan bermotor berstandard Euro4/IV. Artinya sejak saat itu semua produk kendaraan bermotor yang dipasarkan di Indonesia berstandard Euro4/IV, meninggalkan standard sebelumnya yaitu Euro2/II yang diadopsi sejak 2007. 

“Tujuannya adalah untuk mengendalikan emisi kendaraan bermotor dalam rangka mengendalikan pencemaran udara terutama di kawasan perkotaan. Sebagaimana kita ketahui bahwa kendaraan bermotor adalah sumber utama pencemaran udara di kawasan perkotaan seperti JABODETABEK yang mengalami krisis pencemaran udara 2023 yang lalu,” terangnya.

“Sayangnya, adopsi kendaraan berstandard Euro4/IV tersebut tidak dibarengi dengan penyediaan BBM yang comply (memenuhi persyaratan) Euro4/IV, alih-alih mengendalikan pencemaran udara justru hal itu memicu kerusakan komponen kendaraan bermotor yang diisi BBM yang tidak memenuhi persyaratan Euro4/IV standard tersebut,” tambah Puput.

Komponen kendaraan yang diproduksi sejak Oktober 2018 dan kendaraan solar yang diproduksi sejak 2022 adalah fuel pump, injector, piston, piston ring, piston arm, combustion chamber, catalytic converter, ECU, dan lain-lain.

“Tentu saja kerusakan tersebut mengharuskan penggantian komponen yang rusak tersebut yang harganya lumayan . Fuel pump misalnya, memerlukan biaya sekitar Rp 500.000 – Rp 2.000.000-an, injector sekitar Rp 750.000 – Rp 5.000.000-an, (tergantung varian dan merek kendaraan), catalytic converter sekitar Rp 15.000.000 – Rp 45.000.000, dan seterusnya,” bebernya.

Puput melanjutkan, penggunaan yang tak memenuhi syarat tersebut dapat memampatkan injector sehingga BBM yang disemburkan ke ruang pembakaran menjadi tidak sempurna. Walhasil akan menjadi lebih boros, selain emisi HC, CO, NOx akan meningkat. 

berkualitas rendah dengan kadar Sulfur tinggi dan atau terkontaminasi asing (stranger substance) menyebabkan catalytic converter (kendaraan ) dan diesel particulate filter (kendaraan diesel) tidak mampu mencapai tempteratur yang diharapkan sehingga kemampuan untuk mengoksidasi polutan terganggu, walhasil polutan (HC, CO, NOx, SOx, PM10, PM2.5) gagal dioksidasi, dengan demikian emisi yang keluar dari knalpot kendaraan menjadi tinggi. 

“Sulfur dan asing tersebut akan melapisi diaphragm catalytic converter dan DPF sehingga gagal mencapai temperatur yang mampu menciptakan situasi kondusif untuk proses oksidasi polutan,” jelasnya.

Dia mengungkapkan, kasus kerusakan komponen fuel pump akhir-akhir ini jelas karena penggunaan kotor yaitu Pertamax memiliki kadar Sulfur 100 – 150 ppm atau 2 – 3 kali lipat yang dipersyaratkan Euro4/IV Vehicle standard (Sulfur content max 50 ppm). Sementara itu Pertalite, Biosolar, Dexlite, PertaDEX, Green Partamax dan Turbo memiliki kadar Sulfur masing-masing`200 ppm, 1260 ppm, 1200 ppm, 300 ppm, 50 ppm dan 50 ppm.

Sementara itu, the stranger substance atau asing tersebut dapat dalam bentuk debu, , minyak lain, metal, dan lain-lain yang bersifat mempengaruh conductivity (daya hantar listrik) yang dapat menyebabkan kerusakan electric system pada fuel pump. “ asing ini dapat merupakan zat yang sengaja ditambahkan (additive) dan atau bahan kontaminan yang terbentuk akibat buruknya housekeeping (apakah di Vessel, Backloading Terminal, Land Transportation Tank, Depo, Tangki SPBU),” urai Puput.

asing dari bahan kontaminan terbentuk akibat buruknya housekeeping yang terjadi karena (1) Zink Coating (Back Loading Terminal) yang tidak rutin sesuai SOP yaitu berupa senyawa mengandung Zn, Fe; atau (2) Tank Cleaning (Backloading Terminal dan SPBU) yang tidak rutin sesuai SOP yaitu berupa residu dan endapan yang bukan fuel properties (, debu, oli, dan lain-lain). 

“Itu semua berawal dari kegagalan dalam pengadaan dan pengawasan terhadap kualitas bahan bakar sejak dari hulu (kilang) hingga hilir,” kata Puput.

Padahal berdasarkan UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi disebutkan pada Pasal 28 (1) bahwa serta hasil olahan tertentu yang dipasarkan di Dalam Negeri untuk memenuhi wajib memenuhi standar dan mutu yang ditetapkan oleh Pemerintah. 

Kemudian di dalam Pasal 41 ditetapkan bahwa Direktorat Jendeal MIGAS yang memiliki otoritas melakukan pengawasan, di mana di dalam Pasal 42 diperjelas bahwa pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) meliputi: a.l. kaidah keteknikan yang baik, jenis dan mutu hasil olahan Minyak dan Gas Bumi, pengelolaan lingkungan hidup, penguasaan, pengembangan, dan penerapan Minyak dan Gas Bumi, kegiatan-kegiatan lain di bidang kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi sepanjang, menyangkut kepentingan umum.

“Dengan demikian, yang diterima oleh konsumen dan berakibat kerusakan kendaraan konsumen adalah hal pelanggaran UU tersebut di atas. Selain pelanggaran Pasal 4 huruf h UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen sehingga kasus kerusakan fuel pump, injector dan lain-lain pada kendaraan yang terjadi akhir-akhir ini, maka konsumen berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya,” tegas Puput.

Pasal 382 KUHP menetapkan sanksi pidana dikenakan kepada mereka yang dalam melakukan kegiatan perdagangan atau melakukan untuk memperdayakan umum atau seseorang tertentu dengan mengambil keuntungan bagi dirinya. “Pelaku perdagangan Migas (produksi dan distribusi), pengawas, dan pengecer Migas`yang menyebabkan kerugian konsumen BBM harus tanggung renteng dikenakan sanksi pidana ini,” sergahnya.

Pada SK Dirjen MIGAS No 3674 K/24/DJM/2006 tentang Spesifikasi juga disebutkan ketentuan tentang pemeliharaan dengan baik atas fasilitas dan infrastruktur untuk mengurangi kontaminasi (debu, , minyak lain, dan lain-lain). Dan di sinilah pokok permasalahan munculnya asing pada Premium tersebut yaitu keteledoran dalam pengawasan dan audit Housekeeping atau pemeliharaan fasilitas dan infrastruktur seperti Vessel (Kapal Pengangkut, Backloading Terminal, Tanki Transporter, dan Tanki SPBU).

Untuk itu, KPBB mendesak agar Pemerintah menyediakan rendah Sulfur (Low Sulfur Fuel) di seluruh wilayah RI sesuai regulasi sebagai tersebut di atas. Perlu dilakukan juga fungsi pengawasan secara ketat terhadap mutu sesuai spesifikasi dan melakukan audit dan pengawasan Zn Coating dan Tank Cleaning (Backloading Terminal, Pengangkut , SPBU, berikut dengan mewajibkan men-disclose berita acara Zn Coating dan Tank Cleaning.

“Lakukan upaya hukum secara tegas (termasuk potensi tindakan pidana hukum) terhadap pelanggaran baik di tataran produksi/impor , transporter, distribusi/retailer maupun policy implementer/controller atas terjadinya kasus kerusakan komponen kendaraan akibat beredarnya kotor sebagai tersebut di atas,” pungkas Puput.