Usianya baru 17 ketika ia mengirimkan kepada Paul Verlaine, mapan yang terpesona oleh nyala api sang remaja. Hubungan keduanya yang intens, rumit, dan kerap membakar, menjadi bagian penting modern. Dalam Literary Hub, disebutkan bahwa hubungan mereka menabrak batas norma dan moral , menjadikan Paris sebagai panggung eksplosif antara , , dan pemberontakan.

Puisinya: Luka, Ledakan, dan Revolusi

Rimbaud menulis dengan semangat yang murka. Karyanya seperti Une Saison en Enfer (Satu Musim di Neraka) dan Les Illuminations tak sekadar bicara derita, tapi juga mengguncang bentuk itu sendiri.

Alih-alih larik-larik yang teratur, Rimbaud memakai prosa puitik yang cair, metafora liar, dan simbolisme yang melampaui logika. Seperti dicatat Modernist Critique and Literary Studies, Rimbaud tak hanya menulis , ia membongkarnya dari dalam.

Keunikan Rimbaud tak berhenti pada teknik. Ia menulis dengan bara yang membuat pembaca merasa seperti tersambar wahyu. Tak heran, puisinya menjadi referensi penting bagi besar abad ke-20—dari André Breton, Antonin Artaud, hingga Allen Ginsberg dan para Beat Generation.

Ke Hindia, Menuju Keheningan

Namun seperti meteor, Rimbaud padam cepat. Di usia 21, ia memutuskan berhenti menulis. Ia sempat bergabung dengan Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) dan dikirim ke Hindia Belanda. Catatan menyebutkan ia sempat singgah di Batavia dan menjalani dinas singkat di Salatiga.

Setelah keluar dari KNIL, ia menghilang dari . Ia kembali muncul di Afrika Timur sebagai senjata dan barang-barang eksotis. Di sanalah ia menjalani sisa hidupnya—dalam keheningan yang ganjil, jauh dari yang dulu ia nyalakan.